Musim hujan tiba maka perlu diwaspadai adanya
genangan – genangan air yang terjadi pada selokan yang buntu, gorong – gorong
yang tidak lancar serta adanya banjir yang berkepanjangan, perlu diwaspadai
adanya tempat reproduksi atau berkembangbiaknya nyamuk pada genangan – genangan
tersebut sehingga dapat mengakibatkan musim nyamuk telah tiba pula, itulah
kata-kata yang melakat pada saat ini. saatnya kita melakukan antisipasi adanya
musim nyamuk dengan cara pengendalian nyamuk dengan pendekatan perlakukan sanitasi
lingkungan atau non kimiawi yang tepat sangat diutamakan sebelum dilakukannya
pengendalian secara kimiawi.
Selama ini
semua manusia pasti mengatahui dan mengenal serangga yang disebut nyamuk.
Antara nyamuk dan manusia bisa dikatakan hidup berdampingan bahkan nyaris tanpa
batas. Namun, berdampingannya manusia dengan nyamuk bukan dalam makna positif.
Tetapi nyamuk dianggap mengganggu kehidupan umat manusia. Meski jumlah nyamuk
yang dibunuh manusia jauh lebih banyak daripada jumlah manusia yang meninggal
karena nyamuk, perang terhadap nyamuk seolah menjadi kegiatan tak pernah henti
yang dilakukan oleh manusia.
Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF)} adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana
menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan
darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan.Penyakit ini banyak
ditemukan didaerah tropis seperti Asia Tenggara, India, Brazil, Amerika
termasuk di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian
lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Dokter dan tenaga kesehatan
lainnya seperti Bidan dan Pak M Demam Berdarah Dengue (DBD) kini sedang
mewabah, tak heran jika penyakit ini menimbulkan kepanikan di Masyarakat. Hal
ini disebabkan karena penyakit ini telah merenggut banyak nyawa. Berdasarkan
data dari Departemen Kesehatan RI terdapat 14 propinsi dalam kurun waktu bulan
Juli sampai dengan Agustus 2005 tercatat jumlah penderita sebanyak 1781 orang
dengan kejadian meninggal sebanyak 54 orang.
DBD bukanlah merupakan penyakit
baru, namun tujuh tahun silam penyakit inipun telah menjangkiti 27 provinsi di
Indonesia dan menyebabkan 16.000 orang menderita, serta 429 jiwa meninggal
dunia, hal ini terjadi sepanjang bulan Januari sampai April 1998 (Tempo, 2004).
WHO bahkan memperkirakan 50 juta warga dunia, terutama bocah-bocah kecil dengan
daya tahan tubuh ringkih, terinfeksi demam berdarah setiap tahun.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
demam dengue yang disertai pembesaran hati dan manifestasi perdarahan. Pada
keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh syok
hipovolemik akibat kebocoran plasma. DBD merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang penularannya dari satu penderita ke penderita
lain disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu langkah yang dapat
dilakukan untuk mencegah penyebaran DBD adalah dengan memotong siklus
penyebarannya dengan memberantas nyamuk tersebut. Salah satu cara untuk
memberantas nyamuk Aedes aegypti adalah dengan melakukan Fogging. Selain itu
juga dapat dilakukan pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan abatisasi untuk
memberantas jentik nyamuk. Program studi Kesehatan Lingkungan Program Diploma
tiga Kesehatan FIK UMS sebagai salah satu institusi yang dapat melaksanakan
fogging merasa bertanggung jawab untuk mencegah penyebaran penyakit ini.
Sebagai wujud kepedulian itu maka dilaksanakan program fogging di beberapa
daerah.
Berbagai upaya pengendalian penyakit demam
berdarah dengue (DBD) telah dilaksanakan meliputi : promosi kesehatan tentang
pemberantasan sarang nyamuk, pencegahan dan penanggulangan faktor resiko serta
kerja sama lintas program dan lintas sector terkait sampai dengan tingkat desa
/kelurahan untuk pemberantasan sarang nyamuk. Masalah utama dalam upaya menekan
angka kesakitan DBD adalah belum optimalnya upaya pergerakan peran serta
masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue. Oleh karena
itu partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk DBD tersebut perlu
di tingkatkan antara lain pemeriksaan jentik secara berkala dan
berkesinambungan serta menggerakan masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk
DBD.
Adapun beberapa masalah yang akan di
rumuskan dalam memecahkan masalah demam berdarah antara lain :
1.
Apa sebenarnya penyakit demam
berdarah dengue dan apa penyebabnya?
2.
Bagaimana cara penularan
penyakit demam berdarah dan siklus hidup vektor penular penyakit DBD?
3.
Seperti apa patogenitas DBD
terhadap manusia?
4.
Bagaimana cara pencegahan penyakit DBD ?
5.
Bagaimana cara memberantas penyakit
demam berdarah agar tidak mewabah ?
6.
Apa saja cara pengobatan penyakit
demam berdarah ?
Tujuan di buatnya makalah ini adalah :
1.
Memberi pengetahuan mengenai
penyakit demam berdarah dengue dan penyebabnya.
2.
Memberi pengetahuan tentang cara
penularan dan vektor penyakit demam berdarah
3.
Memberi pengetahuan tentang
patogenitas DBD
4.
Memberikan informasi tentang cara
pemberantasan penyakit demam berdarah.
5.
Memberikan pengetahuan tentang cara
pengobatan penyakit demam berdarah.
6.
Mengetahui gejala dan berbagai
pencegahan untuk penyakit demam berdarah tersebut.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa
medisnya disebut Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)} adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus, yang mana menyebabkan gangguan pada pembuluh
darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan
perdarahan-perdarahan.
Penyakit ini banyak ditemukan didaerah tropis
seperti Asia Tenggara, India, Brazil, Amerika termasuk di seluruh pelosok
Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas
permukaan air laut. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya seperti Bidan dan Pak
Mantri ;-) seringkali salah dalam penegakkan diagnosa, karena kecenderungan
gejala awal yang menyerupai penyakit lain seperti Flu dan Tipes (Typhoid).
Tanda dan Gejala Penyakit Demam
Berdarah Dengue Masa tunas / inkubasi selama 3 – 15 hari sejak seseorang
terserang virus dengue, Selanjutnya penderita akan menampakkan berbagai tanda
dan gejala demam berdarah sebagai berikut :
1.
Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari
(38 – 40 derajat Celsius).
2.
Pada pemeriksaan uji torniquet,
tampak adanya jentik (puspura) perdarahan.
3.
Adanya bentuk perdarahan dikelopak
mata bagian dalam (konjungtiva), Mimisan (Epitaksis), Buang air besar dengan
kotoran (Peaces) berupa lendir bercampur darah (Melena), dan lain-lainnya.
4.
Terjadi pembesaran hati
(Hepatomegali).
5.
Tekanan darah menurun sehingga
menyebabkan syok.
6.
Pada pemeriksaan laboratorium
(darah) hari ke 3 – 7 terjadi penurunan trombosit dibawah 100.000 /mm3
(Trombositopeni), terjadi peningkatan nilai Hematokrit diatas 20% dari nilai
normal (Hemokonsentrasi).
7.
Timbulnya beberapa gejala klinik
yang menyertai seperti mual, muntah, penurunan nafsu makan (anoreksia), sakit
perut, diare, menggigil, kejang dan sakit kepala.
8.
Mengalami perdarahan pada hidung
(mimisan) dan gusi.
9.
Demam yang dirasakan penderita
menyebabkan keluhan pegal/sakit pada persendian.
10.
Munculnya bintik-bintik merah pada
kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
1.
Klasifikasi
vector penyakit demam berdarah
Aedes
aegypti
|
Kerajaan:
|
|
Filum:
|
|
Kelas:
|
|
Ordo:
|
|
Famili:
|
|
Genus:
|
|
Upagenus:
|
|
Spesies:
|
Ae. aegypti
|
|
Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue
penyebab penyakit demam
berdarah. Selain dengue,
A. aegypti juga merupakan pembawa virus demam kuning (yellow
fever) dan chikungunya.
Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis di
seluruh dunia. Sebagai pembawa virus dengue,
A. aegypti merupakan pembawa utama (primary vector)
dan bersama Aedes
albopictus menciptakan siklus persebaran dengue di desa dan kota.
Mengingat keganasan penyakit demam berdarah,
masyarakat harus mampu mengenali dan mengetahui cara-cara mengendalikan jenis
ini untuk membantu mengurangi persebaran penyakit demam berdarah.
Terjadinya penularan virus Dengue tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan vektornya, karena tanpa adanya vektor tidak akan
terjadi penularan. Ada beberapa vektor yang dapat menularkan virus Dengue
tetapi yang dianggap vektor penting dalam penularan virus ini adalah nyamuk
Aedes aegypti walaupun di beberapa negara lain Aedes albopictus cukup penting
pula peranannya seperti hasil penelitian yang pernah dilakukan di pulau Mahu
Republik Seychelles (Metsellar, 1997).
Untuk daerah urban Aedes albopictus ini kurang
penting peranannya (Luft,1996). Selain kedua spesies ini masih ada beberapa
spesies dari nyamuk Aedes yang bisa bertindak sebagai vektor untuk virus Dengue
seperti Aedes rotumae, Aedes cooki dan lain-lain. Sub famili nyamuk Aedes ini
adalah Culicinae, Famili Culicidae, sub Ordo Nematocera dan termasuk Ordo
diptera (WHO, 2004).
Bila nyamuk Aedes menghisap darah manusia yang
sedang mengalami viremia, maka nyamuk tersebut terinfeksi oleh virus Dengue dan
sekali menjadi nyamuk yang infektif maka akan infektif selamanya (Putman JL dan
Scott TW., 1996). Selain itu nyamuk betina yang terinfeksi dapat menularkan
virus ini pada generasi selanjutnya lewat ovariumnya tapi hal ini jarang
terjadi dan tidak banyak berperan dalam penularan pada manusia. Virus yang
masuk dalam tubuh nyamuk membutuhkan waktu 8-10 hari untuk menjadi nyamuk
infektif bagi manusia dan masa tersebut dikenal sebagai masa inkubasi eksternal
(WHO, 1997).
Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki
ukuran sedang dengan tubuh berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya
ditutupi sisik dengan gari-garis putih keperakan. Di bagian punggung (dorsal)
tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang
menjadi ciri dari spesies ini. Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah
rontok atau terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua.
Ukuran dan warna nyamuk jenis ini kerap berbeda antar populasi, tergantung dari
kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan.
Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan dalam hal ukuran nyamuk
jantan yang umumnya lebih kecil dari betina dan terdapatnya rambut-rambut tebal
pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang.
Untuk genus Aedes ciri khasnya bentuk abdomen
nyamuk betina yang lancip ujungnya dan memiliki cerci yang lebih panjang dari
cerci nyamuk lainnya. Nyamuk dewasa mempunyai ciri pada tubuhnya yang berwarna
hitam mempunyai bercak-bercak putih keperakan atau putih kekuningan, dibagian
dorsal dari thorak terdapat bercak yang khas berupa 2 garis sejajar di bagian
tengah dan 2 garis lengkung di tepinya. Aedes albopictus tidak mempunyai garis
melengkung pada thoraknya. Larva Aedes mempunyai bentuk siphon yang tidak
langsing dan hanya memiliki satu pasang hair tuft serta pecten yang tumbuh
tidak sempurna dan posisi larva Aedes pada air biasanya membentuk sudut pada
permukaan atas.
Nyamuk betina meletakkan telurnya di atas
permukaan air dalam keadaan menempel pada dinding tempat perindukannya. Telur
Aedes aegypti mempunyai dinding yang bergaris-garis dan membentuk bangunan
menyerupai gambaran kain kasa. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata
sebanyak 100 butir telur tiap kali bertelur. Pertumbuhan dari telur sampai
menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari (Srisasi G et al., 2000).
Aedes aegypti
bersifat diurnal atau aktif
pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina
karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu dilakukannya untuk
memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk memproduksi telur. Nyamuk
jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun
tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap dan benda-benda berwarna hitam
atau merah. Demam berdarah kerap menyerang anak-anak karena anak-anak cenderung
duduk di dalam kelas selama pagi hingga siang hari dan kaki mereka yang
tersembunyi di bawah meja menjadi sasaran empuk nyamuk jenis ini.
Nyamuk dewasa betina mengisap darah manusia pada siang hari yang
dilakukan baik di dalam rumah ataupun luar rumah. Pengisapan darah dilakukan
dari pagi sampai petang dengan dua puncak yaitu setelah matahari terbit
(08.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam (15.00-17.00) (Srisasi G et al.,
2000).
Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat
mengakibatkan perubahan perilaku yang mengarah pada peningkatan kompetensi
vektor, yaitu kemampuan nyamuk menyebarkan virus. Infeksi virus dapat
mengakibatkan nyamuk kurang handal dalam mengisap darah, berulang kali
menusukkan proboscis nya,
namun tidak berhasil mengisap darah sehingga nyamuk berpindah dari satu orang
ke orang lain. Akibatnya, risiko penularan virus menjadi semakin besar.
Di Indonesia, nyamuk A. aegypti umumnya
memiliki habitat di lingkungan perumahan, di mana terdapat banyak genangan air
bersih dalam bak mandi ataupun tempayan. Oleh karena itu, jenis ini bersifat urban, bertolak belakang dengan A.
albopictus yang cenderung berada di daerah hutan berpohon rimbun (sylvan
areas).
Semua tempat penyimpanan air bersih yang tenang dapat menjadi tempat
berkembang biak nyamuk Aedes misalnya gentong air murni, kaleng kosong berisi
air hujan, bak kamar mandi atau pada lipatan dan lekukan daun yang berisi air
hujan, vas bunga berisi air dan lain-lain. Nyamuk Aedes aegypti lebih banyak
ditemukan berkembang biak pada kontainer yang ada dalam rumah.
Perkembangan hidup nyamuk Aedes aegypti dari
telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10-12 hari dan umur nyamuk Aedes
aegypti betina berkisar antara 2 minggu sampai 3 bulan atau rata-rata 1,5
bulan, tergantung dari suhu kelembaban udara sekelilingnya (Biswas et al.,
1997).
Nyamuk A. aegypti, seperti halnya culicines
lain, meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual. Telur
berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah satu dengan yang lain. Telur
menetas dalam 1 sampai 2 hari menjadi larva. Terdapat empat tahapan dalam
perkembangan larva yang disebut instar.
Perkembangan dari instar 1 ke instar 4 memerlukan waktu sekitar 5 hari. Setelah
mencapai instar ke-4, larva berubah menjadi pupa di mana larva memasuki masa
dorman. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari
pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7 hingga 8
hari, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung.
Telur Aedes aegypti tahan kekeringan dan
dapat bertahan hingga 1 bulan dalam keadaan kering. Jika terendam air, telur
kering dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya, larva sangat membutuhkan air
yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat berkembang dapat
memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Sebagai contoh, populasi
larva yang melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk dewasa yang
cenderung lebih rakus dalam mengisap darah. Sebaliknya, lingkungan yang kaya
akan nutrisi menghasilkan nyamuk-nyamuk.
Nyamuk Aedes aegypti lebih senang mencari
mangsa di dalam rumah dan sekitarnya pada tempat yang terlindung atau tertutup.
Hal ini agak berbeda dengan Aedes albopictus yang sering dijumpai diluar rumah
dan menyukai genangan air alami yang terdapat di luar rumah misalnya potongan
bambu pagar, tempurung kelapa, lubang pohon yang berisi air (Allan, 1998).
Tempat peristirahatan nyamuk Aedes aegypti berupa semak-semak atau tanaman
rendah termasuk rerumputan yang terdapat di halaman/kebun/pekarangan rumah,
juga berupa benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian, sarung,
kopiah dan lain sebagainya (Srisasi G et al., 2000).
Aedes aegypti merupakan spesies nyamuk yang
banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis yang terletak antara 35º
lintang utara dan 35º lintang selatan. Selain itu Aedes aegypti jarang
ditemukan pada ketinggian lebih dari 1.000 m. Tetapi di India pernah ditemukan
pada ketinggian 2.121 m dan di California 2.400 m. Nyamuk ini mampu hidup pada
temperatur 8ºC-37ºC. Aedes aegypti bersifat Anthropophilic dan sering tinggal
di dalam rumah (WHO, 1997).
Kemampuan terbang nyamuk betina bisa mencapai 2
km tetapi kemampuan normalnya kira-kira 40 meter. Nyamuk Aedes mempunyai
kebiasaan menggigit berulang (multiple bitters) yaitu menggigit beberapa orang
secara bergantian dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan karena nyamuk Aedes
aegypti sangat sensitif dan mudah terganggu. Keadaan ini sangat membantu Aedes
aegypti dalam memindahkan virus Dengue ke beberapa orang sekaligus sehingga
dilaporkan adanya beberapa penderita DBD di dalam satu rumah (Depkes, 2004).
Memonitor kepadatan populasi Aedes aegypti
merupakan hal yang penting dalam mengevaluasi adanya ancaman penyakit Demam Berdarah
Dengue di suatu daerah dan pengukuran kepadatan populasi nyamuk yang belum
dewasa dilakukan dengan cara pemeriksaan tempat-tempat perindukan di dalam dan
luar rumah. Ada 3 angka indeks yang perlu diketahui yaitu indeks rumah, indeks
kontainer dan indeks Breteau (Srisari G et al., 2000). Indeks Breteau adalah
jumlah kontainer yang positif dengan larva Aedes aegypti dalam 100 rumah yang
diperiksa. Indeks Breteau merupakan indikator terbaik untuk menyatakan
kepadatan nyamuk, sedangkan indeks rumah menunjukkan luas persebaran nyamuk
dalam masyarakat. Indeks rumah adalah prosentase rumah ditemukannya larva Aedes
aegypti. Indeks kontainer adalah prosentase kontainer yang positif dengan larva
Aedes aegypti. Penelitian dari Bancroft pada tahun 1906 memberi dasar kuat
untuk mempertimbangkan Aedes aegypti sebagai vektor dengan cara menginfeksi 2
sukarelawan di daerah tempat terjadinya infeksi alamiah. Dasar ini didukung
pula dengan hasil penelitian Cleland dan kawan-kawan tahun 1917, juga
penelitian dari Jupp tahun 1993 di Afrika Selatan yang menyatakan populasi
Aedes aegypti paling besar potensinya sebagai vektor untuk virus DEN-1 dan
DEN-2 (WHO, 2002).
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit
infeksi virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes
albopictus. Virus Dengue termasuk genus Flavivirus, famili Flaviviridae, yang
dibedakan menjadi 4 serotipe yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Keempat
serotipe virus ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan bahwa serotipe virus
DEN 3 sering menimbulkan wabah, sedang di Thailand penyebab wabah yang dominan
adalah virus DEN 2 (Syahrurahman A et al., 1995). Penyakit ini ditunjukkan dengan
adanya demam secara tiba-tiba 2-7 hari, disertai sakit kepala berat, sakit pada
sendi dan otot (myalgia dan arthralgia) dan ruam merah terang, petechie dan
biasanya muncul dulu pada bagian bawah badan menyebar hingga menyelimuti hampir
seluruh tubuh. Radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut,
rasa mual, muntah-muntah atau diare (Soewandoyo E., 1998).
Manifestasi klinik terwujud sebagai akibat
adanya kebocoran plasma dari pembuluh darah perifer ke jaringan sekitar.
Infeksi virus Dengue dapat bersifat asimtomatik atau simtomatik yang meliputi
panas tidak jelas penyebabnya (Dengue Fever, DF), Demam Berdarah Dengue (DBD),
dan demam berdarah dengan renjatan (DSS) dengan manifestasi klinik demam
bifasik disertai gejala nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, dan timbulnya
ruam pada kulit ( Soegijanto S., 2004).
Virus Dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat
gigitan nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus. Di dalam tubuh
manusia, virus berkembang biak dalam sistem retikuloendotelial, dengan target
utama virus Dengue adalah APC (Antigen Presenting Cells ) di mana pada umumnya
berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar dapat juga
terkena (Harikushartono et al., 2002). Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum
timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan
segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag
menjadi APC (Antigen Precenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini
akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih
banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis
makrofag yang sudah memfagosit virus juga mengaktifkan sel B yang akan melepas
antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi,
antibodi hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen (Gubler DJ., 1998).
Penyakit infeksi virus Dengue merupakan hasil
interaksi multifaktorial yang pada saat ini mulai diupayakan memahami
keterlibatan faktor genetik pada penyakit infeksi virus, yaitu kerentanan yang
dapat diwariskan. Konsep ini merupakan salah satu teori kejadian infeksi
berdasarkan adanya perbedaan kerentanan genetik (genetic susceptibility) antar
individu terhadap infeksi yang mengakibatkan perbedaan interaksi antara faktor
genetik dengan organisme penyebab serta lingkungannya (Darwis D., 1999).
Patofisiologi primer DBD dan Dengue Shock
Syndrom (DSS) adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang diikuti
kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan
hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah (Gambar 2.1). Volume plasma menurun
lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, yang didukung penemuan post mortem
meliputi efusi serosa, efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi (Soedarmo,
2002).
Patogenesis DBD masih kontroversial dan
masing-masing hanya dapat menjelaskan satu atau beberapa manifestasi kliniknya
dan belum dapat menjelaskan secara utuh keseluruhan fenomena (Soetjipto et al.,
2000). Beberapa teori tentang patogenesis DBD adalah The Secondary Heterologous
Infection Hypothesis, Hipotesis Virulensi Virus, Teori Fenomena Antibodi
Dependent Enhancement (ADE), Teori Mediator, Peran Endotoksin, dan Teori
Apoptosis (Soegijanto S., 2004).
Pencegahan dan pemberantasan infeksi Dengue
diutamakan pada pemberantasan vektor penyakit karena vaksin yang efektif masih
belum tersedia. Pemberantasan vektor ini meliputi pemberantasan sarang nyamuk
dan pembasmian jentik. Pemberantasan sarang nyamuk meliputi pembersihan tempat
penampungan air bersih yang merupakan sarana utama perkembangbiakan nyamuk,
diikuti penimbunan sampah yang bisa menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.
Tempat air bersih perlu dilindungi dengan ditutup yang baik. Pembasmian jentik
dilakukan melalui kegiatan larvaciding dengan abate dan penebaran ikan pemakan
jentik di kolam-kolam (Soegijanto S., 2004).
E.
Cara Pemberantasan Demam Berdarah
Departemen kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam
mengatasi kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas
nyamuk dewasa melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan
menggunakan larvasida yang ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit
dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai sekarang belum
memperlihatkan hasil yang memuaskan. Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung
pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti (Rozendaal JA., 1997).
Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa metode yang tepat, yaitu:
a.
Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain
dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat
perkembangbiakan nyamuk dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh : menguras
bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu, mengganti dan
menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali, menutup dengan
rapat tempat penampungan? air, mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban
bekas di sekitar rumah?. Tumpah atau bocornya air dari pipa distribusi, katup
air, meteran air dapat menyebabkan air menggenang dan menjadi habitat yang
penting untuk larva Aedes aegypti jika tindakan pencegahan tidak dilakukan.
b.
Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan
jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14). Peran pemangsa yang
dimainkan oleh copepod crustacea (sejenis udang-udangan) telah didokumentasikan
pada tahun 1930-1950 sebagai predator yang efektif terhadap Aedes aegypti (Kay
BH., 1996). Selain itu juga digunakan perangkap telur autosidal (perangkap
telur pembunuh) yang saat ini sedang dikembangkan di Singapura.
c.
Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan pengasapan (fogging) (dengan
menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan
penularan sampai batas waktu tertentu. Memberikan bubuk abate (temephos) pada
tempat-tempat penampungan air seperti gentong air, vas bunga, kolam, dan
lain-lain.
Fogging
merupakan salah satu bentuk upaya untuk dapat memutus rantai penularan penyakit
DHF, dengan adanya pelaksanaan fogging diharapkan jumlah penderita Demam
Berdarah DHF dapat berkurang. Sebelum pelaksanaan fogging pada masyarakat telah
diumumkan agar menutup makanannya dan tidak berada di dalam rumah ketika
dilakukan fogging termasuk orang yang sakit harus diajak ke luar rumah dahulu,
selain itu semua ternak juga harus berada di luar. Namun demikian untuk
menghindari hal – hal yang tidak diinginkan maka dalam pelaksanaannya fogging
dilakukan oleh 2 orang operator. Operator I (pendamping) bertugas membuka
pintu, masuk rumah dan memeriksa semua ruangan yang ada untuk memastikan bahwa
tidak ada orang dalam rumah termasuk bayi, anak-anak maupun orang tua dan orang
yang sedang terbaring sakit, selain itu ternak-ternak sudah harus dikeluarkan
serta semua makanan harus sudah ditutup. Setelah siap operator pendamping ke
luar dan operator II (Operator swing Fog) memasuki rumah dan melakukan fogging
pada semua ruangan dengan cara berjalan mundur. Setelah selesai operator
pendamping baru menutup pintu. Rumah yang telah di fogging ini harus dibiarkan
tertutup selama kurang lebih satu jam dengan harapan nyamuk-nyamuk yang berada
dalam rumah dapat terbunuh semua, dengan cara ini nyamuk-nyamuk akan terbunuh
karena malathion bekerja secara “knoc donw”. Setelah itu fogging dilanjutkan di
luar rumah / pekarangan. Setelah satu rumah beserta pekarangannya selesai
difogging maka fogging dilanjutkan ke rumah yang lain, sampai semua rumah dan
pekarangan milik warga difogging.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
fogging dengan swing fog untuk mendapatkan hasil yang optimal adalah sebagai
berikut :
a.
Konsentrasi larutan dan cara
pembuatannya. Untuk malation, konsentrasi larutan adalah 4 – 5 %.
b.
Nozzle yang dipakai harus sesuai
dengan bahan pelarut yang digunakan dan debit keluaran yang diinginkan.
c.
Jarak moncong mesin dengan target
maksimal 100m, efektif 50m.d) Kecepatan berjalan
d.
ketika memfogging, untuk swing fog
kurang lebih 500 m2 atau 2 – 3 menit untuk satu rumah dan halamannya.
e.
Waktu fogging disesuaikan dengan
kepadatan/aktivitas puncak dari nyamuk, yaitu jam 09.00 – 11.00.
Dalam
pelaksanaan fogging inipun telah diperhatikan hal-hal di atas sehingga
diharapkan hasilnya juga optimal. Berdasarkan hasil survei jentik ternyata
masih ditemukan jentik di 5 rumah penduduk. Jentik tersebut berada di kamar
mandi, satu kamar mandi ditemukan di luar rumah dengan kondisi kurang bersih
dan kurang terawat, sedang 4 kamar mandi yang lain berada di dalam rumah.
Bahkan satu kamar mandi terbuat dari keramik, namun demikian kamar mandi ini
berhubungan langsung dengan pekarangan yang cukup luas dengan tanaman-tanaman
besar yang cukup banyak, sehingga dimungkinkan nyamuk berasal dari pekarangan.
Bagi penduduk yang kamar mandinya masih ditemukan jentik, maka pada saat itu
juga team yang bertugas langsung memberikan pengarahan dan penyuluhan pada
pemilik rumah untuk membersihkan kamar mandinya agar tidak menjadi sarang
nyamuk.
Pendapat masyarakat bahwa fogging merupakan cara yang
paling tepat untuk mencegah penyebaran penyakit demam berdarah sebenarnya
kurang tepat, karena cara ini sesungguhnya hanya bertujuan untuk memberantas
nyamuk Aedes aegypti dewasa, sehingga jika di beberapa rumah penduduk masih
diketemukan jentik nyamuk, maka dimungkinkan penularan demam berdarah masih
berlanjut dengan dewasanya jentik yang menjadi nyamuk. Apalagi siklus perubahan
jentik menjadi nyamuk hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu minggu.
Sehingga jika di daerah tersebut terdapat penderita demam berdarah baru maka
dimungkinkan akan cepat menyebar pula. Langkah yang dianggap lebih efektif
adalah dengan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk).
Cara yang paling efektif dalam mencegah
penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut
dengan 3M Plus, yaitu menutup, menguras dan mengubur barang-barang yang bisa
dijadikan sarang nyamuk. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti
memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada
waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan
repellent, memasang obat nyamuk dan memeriksa jentik berkala sesuai dengan
kondisi setempat (Deubel V et al., 2001).
Kegiatannya dapat berupa kerja bakti
untuk membersihkan rumah dan pekarangannya, selokan selokan di samping rumah
serta melakukan 3M ( Menguras kamar mandi (termasuk mengganti air untuk minuman
burung dan air dalam vas bunga), menutup tampungan / tandon air dan mengubur
barang-barang bekas yang mungkin menjadi tempat sarang nyamuk, termasuk pecahan
botol dan potongan ban bekas). Jika diperlukan dapat ditaburkan abate dengan
dosis 10 gr/ 100 liter air, untuk membunuh jentik-jentik pada bak kamar mandi
maupun kolam-kolam ikan di rumah, dalam hal ini masyarakat tidak perlu takut
kalau-kalau terjadi keracunan karena abate ini hanya membunuh jentik nyamuk dan
aman bagi manusia maupun ikan. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam
memutus rantai penularan penyakit demam berdarah adalah dengan pelaksanaan PSN
oleh masyarakat, kemudian dilakukan fogging oleh petugas dan kembali
dilaksanakan PSN oleh masyarakat. Jika cara ini telah dilakukan oleh seluruh
masyarakat secara merata di berbagai wilayah, artinya tidak hanya satu Rt atau
Rw saja, tetapi telah meluas di semua wilayah maka pemberantasan demam berdarah
akan lebih cepat teratasi. Sebab jika hanya satu daerah saja yang melaksanakan
program tersebut namun daerah lainnya tidak, maka dimungkinkan orang yang
berasal dari wilayah yang telah bebas namun berkunjung ke daerah yang masih
terdapat penderita demam berdarah dan tergigit oleh nyamuk Aedes aegypti akan
tertular demam berdarah pula dan dengan cepat penyakit inipun akan tersebar
luas kembali.
Pemerintah juga memberdayakan masyarakat dengan
mengaktifkan kembali (revitalisasi) pokjanal DBD di Desa/Kelurahan maupun
Kecamatan dengan fokus pemberian penyuluhan kesehatan lingkungan dan
pemeriksaan jentik berkala. Perekrutan warga masyarakat sebagai Juru Pemantau
Jentik (Jumantik) dengan fungsi utama melaksanakan kegiatan pemantauan jentik,
pemberantasan sarang nyamuk secara periodik dan penyuluhan kesehatan. Peran
media massa dalam penanggulangan KLB DBD dan sebagai peringatan dini kepada
masyarakat juga ditingkatkan. Dengan adanya sistem pelaporan dan pemberitahuan
kepada khalayak yang cepat diharapkan masyarakat dan departemen terkait lebih
wasapada. Intensifikasi pengamatan (surveilans) penyakit DBD dan vektor dengan
dukungan laboratorium yang memadai di tingkat Puskesmas Kecamatan/Kabupaten
juga perlu dibenahi (Kristina et al., 2004).
Fokus
pengobatan pada penderita penyakit DBD adalah mengatasi perdarahan, mencegah
atau mengatasi keadaan syok / persyok, yaitu dengan mengusahakan agar penderita
banyak minum sekitar 1,5 sampai 2 liter air dalam 24 jam (air teh dan gula
sirup atau susu) penambahan cairan tubuh melalui infus (intravena) mungkinb di
perlukan untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang berlebihan.
Transfusi platelet di lakukan jika jumlah platelet menurun drastis. Terhadap
keluhan yang timbul, selanjutnya adalah pemberian obat – obatan misalnya :
• Parasetamol membantu menurunkan demam
• Garam elektrolit (oralit) jika di sertai diare
• Antibiotik berguna untuk mencegah infeksi sekunder,
lakukan kompres dingin, tidak perlu dengan es karena bisa berdampak syok.
Bahkan beberapa tim medis menyarankan kompres dapat di lakukan dengan
alkohol.Pengobatan alternatif yang umum di kenal adalah dengan meminum jus
jambu biji bangkok, namun khasiatnya belum pernah di buktikan secara medis,
akan tetapi jambu biji kenyataannya dapat mengembalikan cairan intravena dan
peningkatan nilai trombosit darah.
Pencegahan dilakukan dengan
menghindari gigitan nyamuk diwaktu pagi sampai sore, karena nyamuk aedes aktif
di siang hari (bukan malam hari). Misalnya hindarkan berada di lokasi yang
banyak nyamuknya di siang hari, terutama di daerah yang ada penderita DBD nya.
Beberapa cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD melalui metode
pengontrolan atau pengendalian vektornya adalah :
a. Pada Larva / jentik nyamuk:
1. dilakukan
dengan cara menjaga sanitasi / kebersihan lingkungan yaitu pada umumnya 3M: Menguras dan menyikat dinding bak penampungan
air kamar mandi; karena jentik / larva nyamuk demam berdarah (Aedest
Aegypti) akan menempel pada dinding bak penampungan air setelah dikuras
dengan ciri-ciri berwarna kehitam-hitaman pada dinding, hanya dengan menguras
tanpa menyikat dinding maka jentik / larva nyamuk demam berdarah (Aedest
Aegypti) tidak akan mati karena mampu hidup dalam keadaan kering tanpa air
sampai dengan 6 (enam) bulan, jadi setelah dikuras diding tersebut harus
disikat. Menutup rapat – rapat bak –
bak penampungan air; yaitu seperti gentong untuk persediaan air minum,
tandon air, sumur yang tidak terpakai karena nyamuk demam berdarah (Aedest
Aegypti) mempunyai ethology lebih menyukai air yang jernih untuk
reproduksinya, Mengubur barang-barang
yang tidak berguna tetapi dapat menyebabkan genangan air yang berlarut-larut ini
harus dihindari karena salah satu sasaran tempat nyamuk untuk bereproduksi.
2. dilakukan
dengan cara pencegahan preventive yaitu memelihara ikan pada tempat penampungan
air
b. Pada Nyamuk Dewasa :
1. Dengan
memasang kasa nyamuk atau screening yang berfungsi untuk pencegahan agar nyamuk
dewasa tidak dapat mendekat pada linkungan sekitar kita.
2. Dengan
menggunkan Insect Light Killer yaitu perangkap untuk nyamuk yang menggunakan
lampu sebagai bahan penariknya (attractan) dan untuk membunuhnya dengan
mengunakan aliran listrik. Cara kerja tersebut sama dengan Electric Raket.
a. Pada Larva / jentik
nyamuk:
Yaitu dikakukan dengan menaburkan
bubuk larvasida atau yang biasa disebut dengan ABATE Untuk tempat-tempat air
yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk ABATE ke dalam genangan
air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2-3
bulan sekali. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan
dibersihkan/diganti airnya, hendaknya jangan menyikat bagian dalam dinding
tempat penampungan air tersebut Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran
yang benar, tidak membahayakan dan tetap aman bila air tersebut diminum
Takaran penggunaan bubuk ABATE adalah sebagai berikut
:
Untuk 10 liter air, ABATE yang diperlukan = (100/10) x
1 gram = 10 gram ABATE
Untuk menakar ABATE digunakan sendok makan. Satu
sendok makan peres berisi 10 gram ABATE.
b. Pada Nyamuk Dewasa :
1. Dilakukan
Space Treatment : Pengasapan (Fogging) dan Pengkabutan (Ultra
Low Volume) dengan insectisida yang bersifat knock down mampun menekan
tingkat populasi nyamuk dengan cepat.
2. Dilakukan
Residual treatment : Penyemprotan (Spraying) pada tempat hinggapnya
nyamuk biasanya bekisaran antara 0 – 1 meter diatas permukaan lantai bangunan.
3. Dengan
memasang obat nyamuk bakar maupun obant nyamuk semprot yang siap pakai dan bisa
juga memakai obat oles anti nyamuk yang memberikan daya fungsi menolak (repellent)
pada nyamuk yang akan mendekat.
Beberapa upaya untuk menurunkan, menekan dan
mengendalikan nyamuk dengan cara pengelolaan lingkungan adalah sebagai berikut:
1.
Modifikasi Lingkungan
Yaitu setiap kegiatan yang mengubah fisik
lingkungan secara permanen agar tempat perindukan nyamuk hilang. Kegiatan ini
termasuk penimbunan, pengeringan, pembuatan bangunan (pintu, tanggul dan
sejenisnya) serta pengaturan sistem pengairan (irigasi). Kegiatan ini di
Indonesia populer dengan nama kegiatan pengendalian sarang nyamuk ”3M” yaitu
dari kata menutup, menguras dan menimbun berbagai tempat yang menjadi sarang
nyamuk.
2.
Manupulasi Lingkungan
Yaitu suatu bentuk kegiatan untuk menghasilkan
suatu keadaan sementara yang tidak menguntungkan bagi keberadaan nyamuk seperti
pengangkatan lumut dari laguna, pengubahan kadar garam dan juga sistem
pengairan secara berkala di bidang pertanian.
3.
Mengubah atau Memanipulasi Tempat
Tinggal dan Tingkah Laku
Yaitu kegiatan yang bertujuan mencegah atau
membatasi perkembangan vektor dan mengurangi kontak dengan manusia. Pendekatan
ini dilakukan dengan cara menempatkan dan memukimkan kembali penduduk yang
berasal dari sumber nyamuk (serangga) penular penyakit, perlindungan
perseorangan (personal protection), pemasangan rintangan-rintangan terhadap
kontak dengan sumber serangga vektor, penyediaan fasilitas air, pembuangan air,
sampah dan buangan lainnya.
4.
Pengendalian Hayati
Yaitu cara lain untuk pengendalian non kimiawi dengan memanfaatkan
musuh-musuh alami nyamuk. Pelaksanaan pengendalian ini memerlukan pengetahuan
dasar yang memadai baik mengenai bioekologi, dinamika populasi nyamuk yang akan
dikendalikan dan juga bioekologi musuh alami yang akan digunakan. Dalam
pelaksanaanya metode ini lebih rumit dan hasilnyapun lebih lambat terlihat
dibandingkan dengan penggunaan insektisida. Pengendalian hayati baru dapat
memperlihatkan hasil yang optimal jika merupakan bagian suatu pengendalian
secara terpadu.
5.
Musuh alami yang yang digunakan
dalam pengendalian hayati adalah predator, patogen dan parasit.
a.
Predator
Adalah musuh alami yang berperan sebagai pemangsa dalam suatu populasi
nyamuk. Contohnya beberapa jenis ikan pemakan jentik atau larva nyamuk.Ikan
pemakan jentik nyamuk yang telah lama digunakan sebagai pengendali nyamuk
adalah ikan jenis guppy dan ikan kepala timah. Jenis ikan lain yang
dikembangkan adalah ikan mas, mujahir dan ikan nila di persawahan. Selain ikan
dikenal pula larva nyamuk yang bersifat predator yaitu jentik nyamuk
Toxorrhynchites yang ukurannya lebih besar dari jentik nyamuk lainnya ( sekitar
4-5 kali ukuran larva nyamuk Aedes aegypti). Di beberapa negara pemanfaatan
larva Toxorrhynchites telah banyak dilakukan dalam rangkaian usaha memberantas
nyamuk demam berdarah secara tepadu.
b.
Patogen
Merupakan jasad renik yang bersifat patogen terhadap jentik nyamuk.
Sebagai contoh adalah berbagai jenis virus (seperti virus yang bersifat
cytoplasmic polyhedrosis), bakteri (seperti Bacillus thuringiensis
subsp.israelensis, B. sphaericus), protozoa (seperti Nosema vavraia,
Thelohania) dan fungi (seperti Coelomomyces, Lagenidium, Culicinomyces)
c.
Parasit
Yaitu mahluk hidup yang secara metabolisme tergantung kepada serangga
vektor dan menjadikannya sebagai inang. Contohnya adalah cacing Nematoda
seperti Steinermatidae (Neoplectana), Mermithidae (Romanomermis) dan
Neotylenchidae (Dalandenus) yang dapat digunakan untuk mengendalikan populasi
jentik nyamuk dan serangga pengganggu kesehatan lainnya. Nematoda ini
memerlukan serangga sebagai inangnya, masuk ke dalam rongga tubuh, merusak
dinding dan jaringan tubuh serangga tersebut. Jenis cacing Romanomermis
culiciforax merupakan contoh yang sudah diproduksi secara komersial untuk
mengendalikan nyamuk.
Meskipun demikian pemanfaatan spesies Nematoda sampai saat ini masih
terbatas pada daerah-daerah tertentu karena sebaran spesiesnya terbatas, hanya
menyerang pada fase dan spesies serangga tertentu dan memerlukan dasar
pengetahuan bioekologi yang kuat.
Berdasarkan hasil pembahasan masalah
yang telah dibuat, dapat diambil kesimpulan bahwa fogging merupakan salah satu
upaya untuk memberantas nyamuk yang merupakan vektor penyakit demam berdarah
sehingga rantai penularan penyakit dapat diputuskan. Selain fogging juga dapat
dilakukan abatisasi, yaitu penaburan abate dengan dosis 10 gram untuk 100 liter
air pada tampungan air yang ditemukan jentik nyamuk. Penyuluhan dan penggerakan
masyarakat dalam PSN ( Pemberantasan Sarang Nyamuk ) dengan 3M, yaitu :
·
Menguras
·
Menutup tampungan air, dan
·
Mengubur barang-barang bekas yang
dapat menjadi sarang nyamuk juga dapat menjadi cara untuk memberantas DBD.
Banyak cara yang dapat dilakukan
dalam mengobati penyakit DBD diantaranya yaitu:
·
Mengatasi perdarahan.
·
Mencegah keadaan syok.
·
Menambah cairan tubuh dengan infus.
Untuk mencegah DBD, dapat dilakukan
dengan cara menghindari gigitan nyamuk pada waktu pagi hingga sore hari dengan
cara mengoleskan lotion anti nyamuk.
1. Setiap
individu sebaiknya mengerti dan memahami bahaya dari penyakit DBD tersebut,
sehingga setiap individu tersebut bisa lebih merasa khawatir dan mampu menjaga
diri dan lingkungannya dari kemungkinan terserangnya demam berdarah.
2. Perlunya
digalakkan Gerakan 3 M plus,tidak hanya bila terjadi wabah
tetapi harusdijadikan gerakan nasional
melalui pendekatan masyarakat.
3. Early Warning
Outbreak Recognition System (EWORS) perlu dilakukan secara berdaya
guna dan berhasil guna.
4. Segenap pihak yang terkait dapat
bekerja sama untuk mencegah DBD.18
Di
akses tanggal 23 maret 2012.
·
Dr.Faziah A. Siregar.2004.Epidemiologi
dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia.www.library.usu.co.id
Di akses tanggal 23 maret
2012.