Kamis, 21 Juni 2012

Briket Arang dari daun tebu.


Pembuatan Briket Arang dari Daun Tebu dan Pemanfaatannya (Charchoal Sugarcane Trash)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgntViIW07Zswqv-E1CC3BLaJWz4hzLO_ok_UE83MN6CBM9PxYtb85kV4nsfxtGuzVoA1Q-Q1O6XfawI-KN-xK7fYlh7NzaWc87iCQzRlTO6rSTxlxG-Zdrn0KWk9fWz4_yQ4__dBEimN8/s320/charcoal.jpg

A. Pengantar

Bahan bakar merupakan kebutuhan primer setiap warga ,namun seiring dengan globalisasi bahan bakar harganya semakin tak terjangkau oleh masyarakat, sementara disekitar habitat banyak limbah yang potensial untuk ditingkatkan nilainya menjadi bahan bakar yang nilai kalornya tidak jauh berbeda dari bahan bakar fosil.
Limbah yang seolah-olah tak mempunyai nilai ekonomi tersebut apabila diberi sentuhan teknologi sederhana akan diperoleh bahan bakar alternatip dengan harga murah dan terbarukan.
Sampah daun-daunan , potongan kayu , dan sampah rumah tangga lain dapat ditingkatkan nilainya, dengan cara memberi sentuhan teknologi sederhana akan diperoleh bahan bakar alternatip.
Bagi interpreneur keadaan ini merupakan suatu peluang untuk menciptakan teknologi tepat guna yang bermanfaat bagi masyarakat dan juga suatu penghematan devisa negara dalam penyediaan bahan bakar dan merupakan energi alternatif (energi terbarukan).
Salah satu cara pemanfaatan limbah daun tebu adalah dengan mengolah limbah tersebut menjadi arang briket dengan proses pirolisis seperti yang dilakukan di negara India.

B. Pembuatan Arang Daun Tebu Kering

1. Bahan : Limbah daun tebu yang telah kering
2. Alat : a. Drum tempat pembakaran
b. Drum penyanggah
c. Kontainer daun kering (proses pirolisis) dengan tutup yang berlubang dan di bawahnya terdapat 2 buah handel pengangkat.
d. Tutup drum pembakaran yang mempunyai cerobong asap
3. Prosedur:

1. Atur drum pembakaran ditempat yang rata tidak jauh dari bahan dan tempatkan drum penyanggah ditengah-tengah drum pembakaran.
2. Letakkan drum penyanggah pada bagian dalam drum burner case tempatkan drum penyanggah ditengah-tengah drum pembakaran.
3. Masukkkan daun tebu kering kedalam drum burner case sampai menutupi drum penyanggah.
4. Isi kontainer sampai penuh kalau perlu padatkan, pasang tutup kemudian kunci kontainer agar isinya tidak berantakan.
5. Atur kontainer di dalam drum pembakaran .
Pasang tutup dan kunci dengan pengikat kawat.
6. Lakukan penyalaan awal pada burner case
7. Amati proses pembakaran untuk meyakinkan proses pembakaran berjalan baik
8. Usahakan proses pembakaran berjalan lancar
9. Setelah daun tebu diluar kontainer habis terbakar, buka tutup dan siram dengan air kontainer, untuk memperoleh proses pendinginan yang lebih cepat dan menjaga agar daun tebu dalam kontainer tidak terbakar lebih lanjut.
10. Keluarkan kontainer dari burner case untuk mengambil hasil arang tebu.
11. Hasil pyrolisis daun tebu
12. Kumpulkan arang hasil pyrolisis kedalam tampungan.
13. Kumpulkan hasil arang tebu pada tempat yang disediakan
14. Buat adonan lem dari pati untuk proses pembuatan briket
15. Buat adonan arang daun tebu dengan mencapurkan lem pati dan arang daun tebu.
16. Masukkan adonan kedalam pencetak

a. Pencetak mekanik pembuat briket dengan tenaga mesin.
b. Pembuatan briket secara manual
17. Keringkan briket basah dengan sinar matahari.

4. Penggunaan briket daun tebu:

1. Briket bentuk lain diletakkan pada tungku.
2. Penyalaan awal
3. Kompor mulai membara siap dipakai
4. Pemasangan casing kompor untuk memperkecil heat loses
5. Heat loses terpasang
6. Pemasangan head cover case, proses pemasakan dengan briket daun tebu dimulai
7. Kesimpulan

☼ Dengan sedikit penanganan semua limbah organik dapat digunakan sebagai energi alternatif yang terbarukan
☼ Sosialisasi peningkatan nilai tambah kepada khalayak sangat diperlukan, untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Senin, 18 Juni 2012

Usap alat pada makanan dan minuman

BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Dalam penyehatan makanan dan minuman, kebersihan alat makan merupakan bagian yang sangat penting dan berpengaruh terhadap kualitas makanan dan minuman. Alat makan yang tidak dicuci dengan bersih dapat menyebabkan organisme atau bibit penyakit yang tertinggal akan berkembang biak dan mencemari makanan yang akan diletakkan di atasnya.
Angka kuman dan adanya bakteri coli pada permukaan alat makan yang telah dicuci dapat diketahui dengan melakukan uji dengan cara usap alat makan pada permukaan alat makan.
Uji sanitasi alat makan atau alat masak perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat kebersihan alat tersebut. Sehingga melalui uji sanitasi alat tersebut, petugas inspeksi dari dinas kesehatan dapat menetapkan apakan alat makan tersebut sudah layak digunakan atau belum.

b. Landasan Teori
Semua alat makan yang mempunyai peluang bersentuhan dengan makanan harus selalu dijaga dalam keadaan bersih dan tidak ada sisa makanan yang tertinggal pada bagian-bagian alat makan tersebut. Apabila hal tersebut dibiarkan, akan memberi kesempatan kuman yang tidak dikehendaki untuk berkembang biak dan membusukkan makanan. (Winarno, 1993)
Menurut ketentuan Direktur Jenderal PPM & PLP, inspeksi atau uji sanitasi alat makan atau alat masak perlu dilakukan pada tempat – tempat pengolahan makanan dan sampel sebaiknya diambil dari lima jenis alat makan atau alat masak yang ada, yaitu :
1. sendok
2. gelas
3. piring
4. mangkok
5. panci, dan lain-lain.
Dalam pelaksanaan uji sanitasi alat makan atau alat masak hendaknya memperhatikan hal – hal sebagai berikut :
1. Untuk cangkir atau gelas uji usap dilakukan pada permukaan luar dan dalam bagian bibir yang terkena atau biasanya bersinggungan langsung dengan konsumen.
2. Pada permukaan bagian luar dan dalam cekungan sendok atau garpu.
3. Untuk piring, uji usap dilakukan pada permukaan dalam tempat makan. Biasanya luas piring dibagi menjadi empat bagian dan pengusapan diakukan dengan mengusap dua juring yang saling berhadapan.
4. Setiap satu alat makan menggunakan satu swab.

Alat makan yang kurang bersih dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit. Penyakit tersebut dapat berupa infeksi saluran pernafasan. Oleh karena itu perlu diupayakan agar alat makan yang akan dipakai harus memenuhi syarat kesehatan. (Surasri, 1989)

BAB II
PELAKSANAAN

a. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum usap alat makan adalah sebagai berikut :
1. Lidi berkapas / swab
2. Bunsen
3. Termos
4. Sampel alat makan yaitu sendok
5. Cawan Petri steril
6. Pipet ukur 5 ml steril
7. Kapas, karet, label, korek api, kertas payung

b. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum usap alat makan adalah sebagai berikut :
1. Media NA steril
2. Media transport yang berupa larutan buffer fosfat 5 ml dalam tabung reaksi
3. Alkohol

c. Prosedur Kerja
Prosedur kerja dari praktikum usap alat makan adalah sebagai berikut :
1. Alat dan bahan yang ingin dipakai disiapkan.
2. Alat makan atau masak yang diperiksa masing-masing diambil 4-5 buah secara acak.
3. Swab steril diambil kemudian tutup tabung dibuka dan swab dimasukkan ke dalam media transport.
4. Swab dikeringkan dengan cara ditekan ke dinding tabung agar tidak terlalu basah (sampai tidak menetes lagi).
5. Swab diusapkan pada alat makan yang akan diperiksa yaitu sendok dengan mengusap permukaandalam tempat makanan diletakkan.
6. Setelah disapukan segera dimasukkan ke dalam tabung berisi media transport dan dikocok, pekerjaan diulangi sampai 3 kali.
7. Tangkai swab yang terpegang dipatahkan dan tabung dikocok.
8. Piaraan tuangan dibuat dengan mengambil suspensi masing-masing 1 ml dan 0,1 ml dan diinkubasikan dalam suhu 350C selama 2 x 24 jam dan koloni yang tumbuh dihitung pada media untuk tiap-tiap cm2.
9. Rumus :

Keterangan :
p = luas yang diusap
q = seluruh luas alat makan atau minum

d. Tujuan
Praktikum usap alat makan bertujuan untuk mengetahui jumlah jasad renik pada alat makan.

BAB III
HASIL PEMERIKSAAN

Dari hasil praktikum usap alat makan, setelah pemeriksaan selama 2 x 24 jam memperoleh hasil sebagai berikut :
Jumlah koloni pada suspensi 0,1 ml : 10 koloni → pengenceran 10 kali
Jumlah koloni pada suspensi 1 ml : 50 koloni.
Volume media transport : 5 ml.
p (luas yang diusap) : ½ π r2
q (luas alat makan/minum) : π r2

Untuk perhitungannya adalah sebagi berikut :
Jumlah koloni = (10 x 10) + 50 x ½ x 5 = 187,5 koloni /cm2
2
Jadi, jumlah koloni yang ada pada sampel alat makan yang diperiksa yaitu pada sendok adalah sebanyak 187,5 koloni per cm2 → melebihi nilai ambang batas yaitu 100 koloni per cm2 (belum memenuhi syarat standart kesehatan pada alat makan).






BAB IV
PEMBAHASAN

Peralatan makan yang higienis penting untuk mencegah pencemaran dan menjaga keamanan makanan. Semua peralatan yang kontak dengan makan harus halus, bebas dari bopeng, retak dan bersisik, tidak beracun, tidak berpengaruh terhadap terhadap produk makanan dan mampu menahan gosokan berulang pada waktu pencucian.
Peralatan harus dirancang dan dibuat untuk menjaga higiene dan mencegah bahaya kimia dan memudahkan dalam pembersihannya. Untuk mencegah kontaminasi kepada pada makanan, maka semua peralatan harus dibersihkan secara rutin seperlunya dan dilakukan desinfeksi bila diperlukan.
Menurut Depkes RI (1988), seperti dikutip dalam skripsi Patoni (1995), alat makan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Syarat bahan alat makan. Alat makan yang kontak langsung dengan makanan tidak boleh terbuat dari bahan-bahan yang mengandung racun.
2. Syarat konstruksi alat makan. Alat makan harus utuh (tidak cacat) dan mudah dibersihkan.
3. Syarat kebersihan. syarat kebersihan alat makan ada 2, yaitu :
a. Angka Escherichia coli harus negatif.
b. Jumlah kuman maksimum 100 koloni /cm2 permukaaan alat makan.

Penentuan banyaknya kuman dalam suatu peralatan, dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana peralatan itu tercemar untuk kuman. Dengan mengetahui jumlah kuman pada suatu peralatan, maka kualitas peralatan dapat diketahui. Peralatan masih dapat dikatakan memenuhi syarat kebersihan, apabila kuman yang terdapat pada peralatan tersebut masih di bawah standart yang ditentukan oleh suatu lembaga.
Jumlah kuman pada suatu peralatan dapat dihitung dengan berbagai cara, tetapi secara garis besar jumlah kuman dapat dihitung dengan 2 cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung.
Perhitungan secara langsung dapat diketahui berapa jumlah kuman pada saat dilakukan perhitungan, dan jumlah kuman yang dihitung adalah seluruh jumlah kuman baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Sedangkan perhitungan secara tidak langsung yaitu untuk megetahui jumlah kuman yang masih hidup, dan perhitungan dilakukan setelah ada perlakuan terlebih dahulu terhadap sampel. Salah satu cara perhitungan secara tidak langsung adalah Total Plate Count (TPC).
Cara TPC ini mempunyai kelemahan yaitu beberapa sel kuman yang tumbuh berdekatan hanya terhitung satu sel, padahal kemungkinan merupakan kumpulan sel atau koloni yang berasal dari beberapa sel. Untuk mengurangi adanya kesalahan dalam menentukan jumlah kuman yaitu digunakan aturan yang disebut Standart Plate Count (SPC). Dalam SPC menurut aturan-aturan antara lain untuk memilih cawan petri pada masing-masing pengenceran yang menunjukkan pertumbuhan koloni antara 30-300 koloni. Standart maksimum yang digunakan alat makan adalah 100 koloni / cm2. jika lebih dari 100, maka melebihi ambang batas dan tidak memenuhi syarat.
Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan sampel jumlah kuman pada sendok dilakukan dengan cara sapuan atau swab, dengan satu kali usapan. Berdasarkan hasil pemeriksaan pada alat makan sendok dengan menggunakan metode usap/swab ini, maka didapatkan dari hasil perhitungan jumlah koloni per cm2 yaitu sebanyak 187,5 koloni per cm2. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alat makan tersebut tidak memenuhi persyaratan standart kesehatan mengenai sanitasi alat makan. Hal ini dikarenakan jumlah koloni yang didapatkan pada sampel (sendok) sudah melebihi niai ambang batas yaitu 100 koloni per cm2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kuman pada alat makan, yaitu :
1. Bahan pencuci,
2. Kualitas air pencuci,
3. Cara pencucian,
4. Adanya sumber pencemaran kuman dan arah angin,
5. Kondisi ruang penyimpanan, debu di udara dan kelembaban ruangan,
6. Adanya sinar matahari langsung yang masuk ke dalam ruang penirisan/ penyimpanan,
7. Kondisi rak penyimpanan.
(Saksono, 1986)






BAB V
PENUTUP

1. Dari hasil praktikum, dapat diketahui bahwa pencucian alat makan pada sampel (sendok) masih belum memenuhi standar karena masih dijumpai koloni kuman sebanyak 187,5 koloni /cm2. Angka tersebut sudah terlalu besar dan peralatan tersebut belum layak untuk digunakan dalam penyajian makanan bagi konsumen.
2. Angka koloni tersebut dapat diminimalisir dengan mengadakan pencucian ulang dengan menggunakan detergen ditambah dengan jeruk nipis dan abu gosok, dimana pada suatu penelitian mahasiswa telah membuktikan bahwa penggunaan abu gosok dan jeruk nipis efektif mengurangi jumlah koloni kuman sehingga alat makan akan lebih bersih dan layak untuk digunakan.







DAFTAR PUSTAKA

Patoni. 1995. Skripsi Pengaruh Jumlah Piring dalam Perendaman dengan Kaporit 100 ppm Selama Dua Menit pada Bak Pencucian Volume 20 Liter Terhadap Jumlah Kuman di RSU Banyumas Tahun 1995. Tidak Dipublikasikan, Purwokerto.

Saksono, Lukman. 1986. Pengantar Sanitasi Makanan. Penerbit Alumni, Bandung.

Surasri, Siti. 1989. Prinsip Sanitasi Makanan. Pusdiknakes RI, Jakarta.

Winarno, F.G. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Pencemaran lingkungan


                           DAMPAK SAMPAH TERHADAP LINGKUNGAN
Salah satu faktor yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup yang sampai saat ini masih tetap menjadi “PR” besar bagi bangsa Indonesia adalah faktor pembuangan limbah sampah.Manusia.memang dianugerahi Panca Indera yang membantunya mendeteksi berbagai hal yang mengancam hidupnya. Namun di dalam dunia modern ini muncul berbagai bentuk ancaman yang tidak terdeteksi oleh panca indera kita, yaitu berbagai jenis racun yang dibuat oleh manusia sendiri.
Lebih dari 75.000 bahan kimia sintetis telah dihasilkan manusia dalam beberapa puluh tahun terakhir. Banyak darinya yang tidak berwarna, berasa dan berbau, namun potensial menimbulkan bahaya kesehatan.Sebagian besar dampak yang diakibatkannya memang berdampak jangka panjang, seperti kanker, kerusakan saraf, gangguan reproduksi dan lain-lain.
Sifat racun sintetis yang tidak berbau dan berwarna, dan dampak kesehatannya yang berjangka panjang, membuatnya lepas dari perhatian kita. Kita lebih susah dengan gangguan yang langsung bisa dirasakan oleh panca indera kita.Hal ini terlebih dalam kasus sampah, di mana gangguan bau yang menusuk dan pemandangan (keindahan/kebersihan) sangat menarik perhatian panca indera kita. Begitu dominannya gangguan bau dan pemandangan dari sampah inilah yang telah mengalihkan kita dari bahaya racun dari sampah, yang lebih mengancam kelangsungan hidup kita dan anak cucu kita.
A. Pengertian Sampah
Sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembikinan atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam pembikinan manufaktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan”.
Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis.” (Istilah Lingkungan untuk Manajemen, Ecolink, 1996).
Berangkat dari pandangan tersebut sehingga sampah dapat dirumuskan sebagai bahan sisa dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Sampah yang harus dikelola tersebut meliputi sampah yang dihasilkan dari:
1. Rumah tangga
2. kegiatan komersial: pusat perdagangan, pasar, pertokoan, hotel, restoran, tempat hiburan.
3. fasilitas sosial: rumah ibadah, asrama, rumah tahanan/penjara, rumah sakit, klinik, puskesmas
4. fasilitas umum: terminal, pelabuhan, bandara, halte kendaraan umum, taman, jalan,
5. Industri
6. hasil pembersihan saluran terbuka umum, seperti sungai, danau, pantai.
ü    Sampah padat pada umumnya dapat di bagi menjadi dua bagian
a.                   Sampah Organik
sampah organik (biasa disebut sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sampah Organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik, misalnya sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran dll.
a.                   Sampah Anorganik
Sampah Anorganik berasal dari sumber daya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa dari bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa botol, botol, tas plsti. Dan botol kaleng
Kertas, koran, dan karton merupakan pengecualian. Berdasarkan asalnya, kertas, koran, dan karton termasuk sampah organik. Tetapi karena kertas, koran, dan karton dapat didaur ulang seperti sampah anorganik lain (misalnya gelas, kaleng, dan plastik), maka dimasukkan ke dalam kelompok sampah anorganik.
B. Dampak Sampah bagi Manusia dan lingkungan
Sudah kita sadari bahwa pencemaran lingkungan akibat perindustrian maupun rumah tangga sangat merugikan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Melalui kegiatan perindustrian dan teknologi diharapkan kualitas kehidupan dapat lebih ditingkatkan. Namun seringkali peningkatan teknologi juga menyebabkan dampak negatif yang tidak sedikit.
1.                  Dampak bagi kesehatan
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat menimbulkan penyakit.
Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut:
- Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum. Penyakit demam berdarah (haemorhagic fever) dapat juga meningkat dengan cepat di daerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai.
- Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).
- Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini sebelumnya masuk ke dalam pencernakan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan/sampah.
- Sampah beracun: Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg). Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang memproduksi baterai dan akumulator.
2.                  Dampak Terhadap Lingkungan
Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas-cair organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak.

3.                  Dampak terhadap keadaan social dan ekonomi
- Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat: bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah bertebaran dimana-mana.
- Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan.
- Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Hal penting di sini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas).
- Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain.
- Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak memadai,seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengolahan air. Jika sarana penampungan sampah kurang atau tidak efisien, orang akan cenderung membuang sampahnya di jalan. Hal ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering dibersihkan dan diperbaiki.
D. Usaha Pengendalian Sampah
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif pengolahan yang benar. Teknologi landfill yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah lingkungan akibat sampah, justru memberikan permasalahan lingkungan yang baru. Kerusakan tanah, air tanah, dan air permukaan sekitar akibat air lindi, sudah mencapai tahap yang membahayakan kesehatan masyarakat, khususnya dari segi sanitasi lingkungan.
Gambaran yang paling mendasar dari penerapan teknologi lahan urug saniter (sanitary landfill) adalah kebutuhan lahan dalam jumlah yang cukup luas untuk tiap satuan volume sampah yang akan diolah. Teknologi ini memang direncanakan untuk suatu kota yang memiliki lahan dalam jumlah yang luas dan murah. Pada kenyataannya, lahan di berbagai kota besar di Indonesia dapat dikatakan sangat terbatas dan dengan harga yang tinggi pula. Dalam hal ini, penerapan lahan urug saniter sangatlah tidak sesuai.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dapat diperkirakan bahwa teknologi yang paling tepat untuk pemecahan masalah di atas, adalah teknologi pemusnahan sampah yang hemat dalam penggunaan lahan. Konsep utama dalam pemusnahan sampah selaku buangan padat adalah reduksi volume secara maksimum. Salah satu teknologi yang dapat menjawab tantangan tersebut adalah teknologi pembakaran yang terkontrol atau insinerasi, dengan menggunakan insinerator.
Teknologi insinerasi membutuhkan luas lahan yang lebih hemat, dan disertai dengan reduksi volume residu yang tersisa ( fly ash dan bottom ash ) dibandingkan dengan volume sampah semula.
Ternyata pelaksanaan teknologi ini justru lebih banyak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan berupa pencemaran udara. Produk pembakaran yang terbentuk berupa gas buang COx, NOx, SOx, partikulat, dioksin, furan, dan logam berat yang dilepaskan ke atmosfer harus dipertimbangkan. Selain itu proses insinerator menghasilakan Dioxin yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan, misalnya kanker, sistem kekebalan, reproduksi, dan masalah pertumbuhan.
Global Anti-Incenatot Alliance (GAIA) juga menyebutkan bahwa insinerator juga merupakan sumber utama pencemaran Merkuri. Merkuri merupakan racun saraf yang sangat kuat, yang mengganggu sistem motorik, sistem panca indera dan kerja sistem kesadaran.
Belajar dari kegagalan program pengolahan sampah di atas, maka paradigma penanganan sampah sebagai suatu produk yang tidak lagi bermanfaat dan cenderung untuk dibuang begitu saja harus diubah. Produksi Bersih (Clean Production) merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis.
A.                Kesimpulan
Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan konsep buatan manusia, dalam proses-proses alam tidak ada sampah, yang ada hanya produk-produk yang tak bergerak.
Sampah dapat berada pada setiap fase materi: padat, cair, atau gas. Ketika dilepaskan dalam dua fase yang disebutkan terakhir, terutama gas, sampah dapat dikatakan sebagai emisi. Emisi biasa dikaitkan dengan polusi.
Dalam kehidupan manusia, sampah dalam jumlah besar datang dari aktivitas industri (dikenal juga dengan sebutan limbah), misalnya pertambangan, manufaktur, dan konsumsi. Hampir semua produk industri akan menjadi sampah pada suatu waktu, dengan jumlah sampah yang kira-kira mirip dengan jumlah konsumsi. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam usaha mengatasi masalah sampah yang saat ini mendapatkan tanggapan pro dan kontra dari masyarakat adalah pemberian pajak lingkungan yang dikenakan pada setiap produk industri yang akhirnya akan menjadi sampah. Industri yang menghasilkan produk dengan kemasan, tentu akan memberikan sampah berupa kemasan setelah dikonsumsi oleh konsumen. Industri diwajibkan membayar biaya pengolahan sampah untuk setiap produk yang dihasilkan, untuk penanganan sampah dari produk tersebut. Dana yang terhimpun harus dibayarkan pada pemerintah selaku pengelola IPS untuk mengolah sampah kemasan yang dihasilkan. Pajak lingkungan ini dikenal sebagai Polluters Pay Principle. Solusi yang diterapkan dalam hal sistem penanganan sampah sangat memerlukan dukungan dan komitmen pemerintah. Tanpa kedua hal tersebut, sistem penanganan sampah tidak akan lagi berkesinambungan.
Tetapi dalam pelaksanaannya banyak terdapat benturan, di satu sisi, pemerintah memiliki keterbatasan pembiayaan dalam sistem penanganan sampah. Namun di sisi lain, masyarakat akan membayar biaya sosial yang tinggi akibat rendahnya kinerja sistem penanganan sampah. Sebagai contoh, akibat tidak tertanganinya sampah selama beberapa hari di Kota Bandung, tentu dapat dihitung berapa besar biaya pengelolaan lingkungan yang harus dikeluarkan akibat pencemaran udara ( akibat bau ) dan air lindi, berapa besar biaya pengobatan masyarakat karena penyakit bawaan sampah ( municipal solid waste borne disease ), hingga menurunnya tingkat produktifitas masyarakat akibat gangguan bau sampah.
A.                saran – saran
Cara pengendalian sampah yang paling sederhana adalah dengan menumbuhkan kesadaran dari dalam diri untuk tidak merusak lingkungan dengan sampah. Selain itu diperlukan juga kontrol sosial budaya masyarakat untuk lebih menghargai lingkungan, walaupun kadang harus dihadapkan pada mitos tertentu. Peraturan yang tegas dari pemerintah juga sangat diharapkan karena jika tidak maka para perusak lingkungan akan terus merusak sumber daya.
Keberadaan Undang-Undang persampahan dirasa sangat perlukan. Undang-Undang ini akan mengatur hak, kewajiban, wewenang, fungsi dan sanksi masing-masing pihak. UU juga akan mengatur soal kelembagaan yang terlibat dalam penanganan sampah. Menurut dia, tidak mungkin konsep pengelolaan sampah berjalan baik di lapangan jika secara infrastruktur tidak didukung oleh departemen-departemen yang ada dalam pemerintahan.
Demikian pula pengembangan sumber daya manusia (SDM). Mengubah budaya masyarakat soal sampah bukan hal gampang. Tanpa ada transformasi pengetahuan, pemahaman, kampanye yang kencang. Ini tak bisa dilakukan oleh pejabat setingkat Kepala Dinas seperti terjadi sekarang. Itu harus melibatkan dinas pendidikan dan kebudayaan, departemen agama, dan mungkin Depkominfo.
Di beberapa negara, seperti Filipina, Kanada, Amerika Serikat, dan Singapura yang mengalami persoalan serupa dengan Indonesia, sedikitnya 14 departemen dilibatkan di bawah koordinasi langsung presiden atau perdana menteri.


DAFTAR PUSTAKA
1.                       Hadiwijoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Penerbit Yayasan Idayu. Jakarta
2.                       Biro Bina Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. 1998. Laporan Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta. Biro Bina Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. Jakarta
3.                        Djuwendah, E., A. Anwar, J. Winoto, K. Mudikdjo. 1998. Analisis Keragaan Ekonomi dan Kelembagaan Penanganan Sampah Perkotaan, Kasus di Kotamadya DT II Bandung Provinsi Jawa Barat. Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan

DINAMIKA KESEHATAN LINGKUNGAN (TEORI SIMPUL)
Simpul A
Simpul B
Simpul C
Simpul D
1.Sampah Rumah tangga
2.Sampah kegiatan komersial: 
Pusat perdagangan,
pasar,
pertokoan,
hotel,
restoran,
tempat hiburan.
3.Sampah fasilitas sosial:
rumah ibadah,
asrama
rumahtahanan/penjara,
rumah sakit,
klinik
,puskesmas
4.Sampah Industri
5.Hasil pembersihan saluran 
terbuka umum,seperti
sungai,
danau,
pantai.

Tanah
Air
Makanan
Binatang(Vektor)
Komponen
Lingkungan
Berada dalam
Darah,lemak,
Urine,dll
1.Terhadap kesehatan:
Kronis
Samar
Akut
Subklinis
Kematian
2.Terhadap lingkungan.
3.Terhadap Keadaan 
Social dan Ekonomi.